Makalah Keunggulan dan Kelemahan Asy'ariyah


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
     Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam Agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Mu’awiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.


     Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3H timbulah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ariah dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah.

    Untuk meninjau pemikiran-pemikiran Al-Asy'ari lebih baik memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas. Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi zaman dan kondisi dari suatu masyarakat dan Al-Asy'ari juga tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat tentang aliran Asy’ariyah?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teologi aliran Asy’ariyah?
3. Bagaimana kekuatan dan kelemahan paham Asy'ariyah sebagai doktrin Aqidah Islam?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah singkat tentang aliran Asy’ariyah?
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh teologi aliran Asy’ariyah?
3. Untuk mengetahui dan memahami kekuatan dan kelemahan paham Asy'ariyah sebagai doktrin             Aqidah Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Asy’ariyah 
    Aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah ‘Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 H.  bersamaan dengan tahun 873 M.  berdasarkan silsilahnya beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy’ari, yaitu seorang sahabat Nabi yang pernah dipercaya oleh Ali Ibnu Abi Thalib mewakili dirinya dalam tahkim antara pihak dia dengan pihak Mu’awiyah Ibnu Abi Sufyan. Untuk membedakannya dengan Abu Musa Al-Asy’ari namanya biasa disebut Abu Al-Hasan al-Asy’ari. Al-Asy’ari meninggal di Bagdad pada tahun 324 H. bersamaan dengan tahun 935 M. 

   Menurut Ibnu A’sakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya as-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya. 
Ketika berusia 40 tahun, Al-Asy’ari keluar dari aliran Mu’tazilah. Ia berusaha merumuskan paham teologi baru yang berlawanan dengan paham aliran Mu’tazilah. Kalau sebelumnya ia menjadi pembela aliran Mu’tazilah, setelah keluar dari aliran Mu’tazilah ia berbalik menjadi penantang terhadap paham aliran tersebut. 
Beberapa pendapat mengenai penyebab yang membuat keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah, antara lain :

1) Al-Asy’ari bermimpi bertemu Rasulullah Saw pada malam ke 10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Dalam mimpi itu, Rasulullah Saw memperingatkannya untuk segera keluar dari paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.
2) Al-Asy’ari tidak puas dengan jawaban dan penjelasan yang diberikan gurunya, al-Jubba’i, tentang masalah keagamaan.
3) Al-Asy’ari melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima secara umum oleh umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran, sementara ketika itu belum ada aliran teologi lain yang dapat diandalkan.
4) Al-Asy’ari kalah bersaing dengan anak al-Jubba’I yaitu Abu Hasyim dalam menggantikan posisi al-Jubba’I sebagai tokoh dan pimpinan Mu’tazilah. 

    Sebab lain ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri. Al-Asy’ari sangat mendambakan persatuan umat, ia khawatir kalau Al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan meresahkan masyarakat karena terlalu menonjolkan akal pikiran. Barangkali inilah yang menjadi latar belakang hampir semua pendapat atau pemikiran teologi yang dikemukakan Al-Asy’ari selalu berlawanan dengan pemikiran teologi kaum Mu’tazilah.

       Al-Asy’ari setelah keluar dari aliran Mu’tazilah berupaya memunculkan pendapat atau pemikiran-pemikiran teologi baru yang hampir semuanya berlawanan dengan pemikiran teologi dalam aliran Mu’tazilah. Pendapat atau pemikiran-pemikiran yang dimunculkan oleh Al-Asy’ari itu diikuti oleh kalangan tokoh-tokoh pendukung dan pengikutnya, pendapat atau pemikiran Al-Asy’ari dan pendapat atau pemikiran kalangan tokoh pendukungnya inilah yang dimaksud pemikiran-pemikiran teologi aliran Asy’ariyah di sini. Pemikiran-pemikiran teologi aliran Asy’ariyah yang terpenting adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.

a. Itsbat al-Shifat (Sifat-sifat bagi Tuhan)
Itsbat al-Shifat (إثبات الصفات) artinya menetapkan sifat-sifat. Yang dimaksud menetapkan sifat-sifat di sini ialah menetapkan sifat-sifat bagi Tuhan. Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Tuhan mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan seterusnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan kelompok Sifatiah). 

b. Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan seluruhnya,  bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasb, yakni bersamaan dengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.

c. Pelaku Dosa Besar
Menurut Al-Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meningggal dunia sebelum sempat bertobat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir, dan di akhirat ada beberapa kemungkinan: 
1) Ia mendapat ampunan dari Tuhan dengan rahmat-Nya, sehingga pelaku dosa besar tersebut dimasukkan ke dalam surga. 
2) Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau ;
شَفَاعَتِىْ لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ اُمَّتِىْ
“Syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar.”
3) Tuhan memberikan hukuman kepadanya dengan memasukkannya ke dalam siksa neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian dia dimasukkan ke surga.

d. Keadilan Tuhan
           Paham keadilan Tuhan di kalangan Asy’ariyah erat hubungannya dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut. Menurut mereka, Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak yang semutlak-mutlaknya, dan tidak ada batasnya serta tidak ada yang membatasinya. Karena itu Tuhan tidak terikat dengan norma-norma keadilan sebagaimana yang berlaku pada manusia.
Menurut aliran Asy’ariyah, Tuhan boleh berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, meskipun hal sedemikian itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Tuhan tidak berkewajiban memberikan pahala kepada manusia atas perbuatan baik yang dilakukannya, dan tidak berkewajiban memberikan siksa kepada manusia atas perbuatan jahat yang dilakukannya. Tuhan member pahala kepada manusia atas perbuatan baik yang dilakukannya jika Ia menghendaki-Nya, demikian pula sebaliknya.

e. Akal dan Wahyu Serta Kriteria Baik dan Buruk
           Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. 
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal. 

f. Melihat Allah
          Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Tuhan bersemayam di Arsy. Al-Asy’ari yakin bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Tuhan yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. 


B. Tokoh-Tokoh Teologi Aliran Asy’ariyah
Pada masa perkembangannya, teologi aliran Asy’ariyah tidaklah lepas dari beberapa tokoh yang mengikuti serta menyebarkan paham ajaran Al-Asy’ari. Beberapa tokoh tersebut antara lain adalah:

1) Al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani
         Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin Ja'far bin al-Qasim, yang lebih dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, di samping sebagai mutakkalim, beliau juga ahli ushul fikih, lahir di Bashrah dan menetap di Baqdad, tentang tahun kelahirannya tidak ada sumber yang pasti menyebutnya.  
Al-Baqillani berguru dari sejumlah ulama di berbagai disiplin ilmu, antara lain: Abu Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid al-Thai al-Maliki (sahabat dan murid Al-Asy’ari), Abu Bakr Ahmad bin Ja'far bin Malik al-Qathi'i, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah al-Abhari" seorang ahli faqih bermazhab Maliki.  Adapun karya beliau, Ibn Katsir menyebutkan, bahwa beliau tidak tidur setiap malam, kecuali setelah menulis 20 lembar, dan tercatat hasil karya beliau antara lain; kitab al-Tabshirah, Daqaiq al-Haqaiq, al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Ibanah, dan lain-lain. Al-Qadhi 'Ayyadh menyebutkan bahwa karya al-Baqillani ada 99 kitab dalam masalah teologi, ushul, fikih, dan I'jaz al-Qur'an, tapi yang ada sampai saat ini hanya sebagian kecil. 
Al-Baqillani wafat pada tahun 403 H di Baqdhad dan dimakamkan di samping makam Imam Ahmad bin Hambal di pekuburan Bab al-Harb. 

2) Al-Iman Al-Haramaen Al-Juwaini.
     Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal dengan nama Imam al-Haramaen, mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'ali Abd al-Malik bin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli ushul dan fikih, beliau bermazhab Syafi'i. Namun, al-Juwaini dinisbahkan pada satu tempat yang ada di Naisabur, beliau bergelar Dhiya al-Din dan disebut Imam al-Haramen karena beliau pernah menetap di Mekah dan Medinah selama empat tahun untuk belajar, berfatwa dan mengumpulkan metode-metode mazbab. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419 H. Beliau wafat pada tanggal 25 Rabiul akhir 478 H di Naisabur dan dimakamkan di samping ayahnya, rahimahumallah. 

3) Hujjat al-Islam al-Imam al-Ghazali
         Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain al-Din al-Syarif, Thusiy dan dipanggil dengan Abu Hamid, beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup dalam keluarga yang sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam. Al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senin 14 Jumadil akhir 505 H. dan dimakamkan di Zhahir al-Thabaran salah satu tempat di Thus berdampingan dengan makam Harun al-Rasyid. 


C. Kekuatan Dan Kelemahan Paham Asy'ariyah Sebagai Doktrin Aqidah Islam
      Sebelum kita bahas lebih jauh tentang kekuatan dan kelemahan paham Asy’ariah, alangkah baiknya kita pahami dulu metode pemikiran aliran Asy’ariyah. Menurut Drs.H. Mawardy Hatta, M.Ag., dalam bukunya Aliran-Aliran Kalam/Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam bahwa ; Imam Asy’ari sebagai tokoh pendiri aliran Asy’ariyah sebenarnya penganut salafiyah, ia lebih berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini terlihat dalam pengakuannya di awal kitab Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah yaitu; “Pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang pada Kitab Allah, sunnah nabi dan apa-apa yang diriwayatkan para sahabat, tabi’in, dan imam-imam hadis. Kami mendukung semua itu, mendukung pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya menjauhi orang-orang yang menyalahi pendapatnya”. 
Al-Asy’ari walaupun mengaku sebagai pengikut salafiyah, namun dalam metodologinya ia ingin mencari jalan tengah atau sintesa. Ia ingin benar-benar berada antara dua posisi, yakni antara Salafiyah dan Mu’tazilah, dan juga antara rasional dan tekstual, dimana selama puluhan tahun dididik dan dibina oleh aliran rasional Mu’tazilah, yang pada akhirnya dia berusaha melepaskan diri untuk menjadi pengikut Salafiyah yang tekstual.

Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode pemikiran Al-Asy’ari yang secara garis besarnya meliputi dua hal, yaitu :
1) Menggunakan dalil naqli dan aqli secara seimbang.
Al-Asy’ari menggunakan dalil-dalil rasional dan logika dalam membuktikan isi kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah, sesudah itu ia membuktikan kebenarannya melalui dalil naqli. Ia tidak menjadikan akal sebagai penentu terhadap nas dalam menginterpretasikannya tetapi menjadikan akal sebagai pembantu untuk memahami dan mendukung nash.
2) Mengambil jalan tengah (sintise).
Asy’ari berusaha mencari jalan tengah atau memadukan antara dua pemikiran atau paham yang saling berlawanan, misalnya mengenai perbuatan hamba, kaum Qadariyah dan juga Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan hamba dikehendaki dan diwujudkan oleh hamba sendiri, sementara kaum Jabariyah berpendapat perbuatan hamba dikehendaki dan diwujudkan oleh Tuhan. Al-Asy’ari mengemukakan jalan tengah yaitu dengan paham Al-Kasb, yaitu perbuatan yang diciptakan Tuhan melalui usaha manusia. Dalam hal ini manusia masih punya peranan yaitu berusaha untuk berbuat dan menerima perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Menurut Nurcholis Majid, bahwa paham Asy’ariyah menjadi unggul terletak pada segi metodologi. Ia mengambil jalan tengah dari pelbagai kubu ekstrim. Ketika terdapat ayat al-Qur’an yang sangat krusial untuk dimengerti dan membutuhkan ta’wil, ia tidak terlalu rasional sebagaimana paham Mu’tazilah dan tidak terlalu harfiah seperti pendekatan kaum Hanbali, tetapi ia mengambil jalan tengah di antara keduanya.
        Inti pokok pemikiran Asy’ariyah selaras dengan Sunni. Secara tegas ia kemukakan sendiri bahwa ia berpegang teguh pada Sunni dalam maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin (Pendapat-Pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang). Dalam buku tersebut dia kemukakan point-point penting aliran Sunni dan ia menutupnya dengan pernyataan tegas afirmasinya terhadap apa yang telah dikemukakan.
      Pandangan Sunni yang dikemukakan Al-Asy’ari meliputi pernyataan kebukanmakhlukan Al-Qur’an, muslim pelaku dosa besar tidak dihukumi kafir, nama-nama Allah bukan berbeda dari Allah (Allah itu sendiri), mengharuskan mengikuti imam atau pemimpin, dll.
Jadi dapatlah kita simpulkan bahwa metode pemikiran Asy’ariyah inilah yang menjadi keunggulan atau kekuatan paham Asy’ariyah, dimana beliau mampu menggunakan dalil naqli dan aqli secara seimbang, dan berusaha mengambil jalan tengah dari paham aliran yang berlawanan.
Di samping kekuatan paham Asy’ariyah, Nurcholis Majid juga menyoroti sisi kelemahan paham ini untuk dijadikan bahan refleksi. Kelemahan paham Asy’ariyah menurut Nurcholis Majid terletak pada Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Al-Asy’ari sebetulnya hendak menengahi dua kubu ekstrim yang berkembang ketika itu. Kedua kubu tersebut adalah paham Jabariyah yang cenderung fatalistik dan menganggap manusia ibarat robot, sudah didesain dan dikendalikan. Namun paham ini ditolak oleh Qadariyah, mengatakan manusia mempunyai kebebasan bertindak dan menentukan pilihan (free will). Al-Asy’ari memberikan format baru dengan konsep Kasb. Tetapi konsep tersebut dipandang sulit dipahami oleh Nurcholis Majid dan cenderung fatalistik. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.

      Nurcholis Majid lebih sepakat dengan syair yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiah, tokoh reformis Islam yang pada substansinya mengatakan bahwa semua tindakan manusia tidak dapat keluar dari ketentuan-Nya. Hanya saja manusia tetap mempunyai kemerdekaan bertindak (free will) karena Allah telah menciptakan kehendak (iradah) yang dengannya manusia mampu memilih jalan hidup. Sangat tampak kritisisme Nurcholis Majid dalam hal ini. Ia ingin membetulkan kebekuan dan absurditas pemahaman teologi karena pemikiran-pemikiran tidak akan lepas dari kelemahan-kelemahan. Ia hendak memperbaiki kelemahan itu sehingga konsep yang dimaksud lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun. Barangkali apa yang dimaksudkan Al-Asy’ari bagi kaum intelektual tidak akan terlalu problematic sekalipun dalam syairnya secara tersurat ditulis kasb tidak akan berpengaruh. Dan tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk itu karena dengan tegas pula dikatakan manusia tidak bebas dan tidak pula terpaksa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kelemahan-kelemahan dari paham Asy’ariyah ini adalah kesulitan bagi orang awam untuk memahami Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan 
1. Kelompok Asy’ariyah muncul karena ketidak puasan Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Mu’tazilah. 
Pemikiran-pemikiran teologi aliran Asy’ariyah yang terpenting adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a. Itsbat al-Shifat (Sifat-sifat bagi Tuhan)
Itsbat al-Shifat (إثبات الصفات) artinya menetapkan sifat-sifat. Yang dimaksud menetapkan sifat-sifat di sini ialah menetapkan sifat-sifat bagi Tuhan.
b. Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri.
c. Pelaku Dosa Besar
Menurut Al-Asy’ari, seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa besar dan meningggal dunia sebelum sempat bertobat, tetap dihukumi mukmin.
d. Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan di kalangan Asy’ariyah erat hubungannya dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut.
e. Akal dan Wahyu Serta Kriteria Baik dan Buruk
f. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Tuhan bersemayam di Arsy.


2. Tokoh yang mengikuti serta menyebarkan paham ajaran Al-Asy’ari, adalah :
a. Al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani
b. Al-Iman Al-Haramaen Al-Juwaini.
c. Hujjat al-Islam al-Imam al-Ghazali
3. Metode pemikiran Asy’ariyah inilah yang menjadi keunggulan atau kekuatan paham Asy’ariyah, dimana beliau mampu menggunakan dalil naqli dan aqli secara seimbang, dan berusaha mengambil jalan tengah dari paham aliran-aliran yang berlawanan. Sedangkan kelemahannya adalah kesulitan bagi orang awam untuk memahami Qudrah dan Iradah Tuhan dan manusia. Manusia dibebani kasb (usaha) tetapi usahanya tidak berpengaruh apa-apa. Manusia dalam konteks ini bukan tidak berdaya sebagaimana menurut paham Jabariyah, tetapi tidak bebas yang bisa menentukan kegiatannya sendiri seperti kata kaum Qadariyah.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghi, Abdullah Musthafa, Al-Fath al Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin. juz 1. Cairo: Abd al-Hamid Hanafi.
Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Al Husna Zikra, 2007.
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986.
Hatta, Mawardy, M. Ag, Aliran-Aliran Kalam/Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Cet. 1, Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2016.
Ibnu Katsir,  al-Bidayah wa al-Nihayah, juz VII, Beirut: Dar al-Fikr. 1996.
Jalal Muhammad ‘Abd al-Hamid Musa, Nasy’at al-Asy’ariyah Wa Tathawwuruha, Beirut: Dar al-Kitab al-Lobnani, 1395 H./1975 M.
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Madjid, Norcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1998.  
Noer Iskandar al-Basrany, Pemikiran Kalam Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Jakarta , PT Raja Grafindo Persada 2001.
Rosihon Anwar, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.


Belum ada Komentar untuk "Makalah Keunggulan dan Kelemahan Asy'ariyah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel